Kamis, 02 Desember 2010

Dalam membahas perspektif ilmu ekonomi islam, ada satu titik awal yang harus benar benar kita perhatikan yakni, “bahwa ekonomi dalam islam bermuara pada aqidah islam, yang bersumber dari syariatnya. Hal ini baru disatu sisi, sedangkan disisi lainnya adalah Al Qur’an dan As Sunnah Nabawiyah yang berbahasa arab”.

Oleh karena itu, berbagai terminologi dan substansi ekonomi yang sudah ada haruslah dibentuk dan disesuaikan dalam kerangka Islami. Untuk mengetahui perspektif ekonomi islam mengenai isu keterbatasan atau ketidakterbatasan kebutuhan manusia secara ilmiah, maka terlebih dahulu harus mengetahiu pula hubungan dan perbedaan antara kebutuhan dan keinginan manusia menurut islam. Lantas menentukan berbagai kriteria yang akan kita jadikan ukuran dalam menentukan batasan apa saja yang sebenarnya merupakan kebutuhan yang mana yang tidak.

Secara lughawi kata al-haajat memang selalu berkisar pada makna dan pengertian: kemiskinan, tuntutan dan sesuatu yang dibutuhkan manusia, yang pada awalnya juga merupakan keinginan agar hilang (dengan memenuhinya)

Adapun pemahaman lughawi pada kata al-raghbat selalu berkisar pada kehendak atau kecenderungan. Atau merendahkan diri dan meminta minta. Sedangkan kata al-raghiib berarti pemberian yang banyak, al-raghabu berarti banyak makan dan rakus. Dan Ardl raghaab adalah tanah yang tidak mengalir airnya, kecuali dengan hujan yang banyak.

Waadi raghiib adalah lembah yang besar dan luas, dan al-raghuub al-waasi’ adalah perut manusia yang terlalu banyak makan. Al-maraghib adalah ketamakan dan raghb’l nafsi artinya luasnya angan-angan dan selalu menuntut lebih. Sedangkan Sesuatu yang bertambah luas, maka ia telah menjadi keinginan, sedangkan asal kata generik al-raght adalah berluas luas dalam sesuatu.

Kalau kita perhatikan, maka nampak berbagai perbedaan esensial antara 2 ungkapan bahasa dan materinya itu, selain adanya keterikatan diantara keduanya. Nampak sekali berbagai makna yang menggunakan kata al-raghbat (keinginan) itu berarti keburukan, kerusakan, berluas luas dan ketamakan. Dimana berbagai makna ini tidak akan pernah kita temukan pada al-haajat (kebutuhan)

Firman Allah Swt

”Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S Al Hasyr (59) : 9)

”Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”. (Q.S An Nisaa’ (4) ; 27)

”Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”.(Q.S Maryam (19) ; 59)

Dalam sebuah hadist diriwayatkan:

“Surga itu dikelilingi dengan hal hal yang dibenci (di dunia)”.

“Seandainya saja bani Adam memiliki satu lembah emas, niscayalah ia lebih suka memiliki dua lembah, dan sendainya ia memiliki dua, niscayalah ia akan lebih suka memiliki tiga”.

Dalam sebuah atsar:

“Alangkah berlebih lebihan, seseorang yang melahap segala sesuatu yang diinginkannya”.

Para pakar ilmu juga telah meletakkan suatu takrif (definisi) mengenai kebutuhan pokok, yaitu yang menghindarkan manusia dari kehancuran secara faktual (nyata) maupun prediktif (perkiraan), yang kedua seperti hutang, yang pertama seperti nafkah, tempat tinggal, persenjataan diri, pakaian sehari hari, perlatan kerja, perkakas rumah tangga, kendaraan dn buku buku ilmu pengetahuan bagi para pencari ilmu.

Dari uraian di atas, maka dapatlah kita mulai mengkontruksikan suatu kaidah universal yang dapat dan mampu menggambarkan suatu kriteria, dasar teoritis, aturan dan batasan tertentu bagi berbagai kebutuhan manusia dari sudut pandang Islam.

Dengan demikian, segala macam kebutuhan manusia yang secara otomatis dituntut oleh kehidupannya sendiri agar dapat hidup layak, tentram, damai dan harmonis sesuai dengan tugas dan tujuan hidupnya.